Tambang Raja Ampat: Dugaan Pelanggaran Hukum Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat
31 Oktober 2022SUDAH lebih dari seminggu terakhir, polemik penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tercatat, ada lima perusahan tambang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah tersebut. Dua perusahaan memperoleh izin dari pemerintah pusat, yakni PT Gag Nikel dengan izin operasi produksi sejak 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin operasi produksi sejak 2013. Tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Raja Ampat, yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP terbit pada 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP terbit pada 2013, dan PT Nurham dengan IUP terbit pada 2025. Pembahasan terkait isu tambang Raja Ampat pertama kali dikumandangkan dalam acara "Indonesia Critical Minerals".
Berdasarkan data Greenpeace, tambang tersebut telah merusak sekitar 500 hektar hutan lindung dalam hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyegel setidaknya empat perusahaan tambang nikel di kawasan Raja Ampat. LHK menyatakan bahwa penyegelan ini karena ditemukannya pelanggaran lingkungan. Beberapa perusahaan yang harus menghentikan aktivitas tambangnya, yaitu wilayah konsesi PT ASP yang memiliki luas lebih dari 10.000 hektar di Pulau Manuran dan Waigeo.